IKLAN

Senin, 20 Februari 2017

Langkanya Cendekiawan



Indonesia saat ini, diakui atau tidak, mengalami kelangkaan cendekiawan, baik dari kalangan ilmuwan maupun ulama. Memang jumlah sarjana, magister, doktor, atau bahkan profesor semakin bertambah. Namun, jumlah yang bermental dan berperilaku cendekiawan ternyata masih langka.

Bahkan, yang pernah dipandang sebagai 'ikon cendekiawan' saja, contoh mahasiswa teladan, dosen teladan, atau ketua di sebuah organisasi terpelajar, di kemudian hari ternyata menunjukkan perilaku yang meragukan. Ada dari mereka yang menjadi pengikut tokoh spiritual yang mengandalkan irasionalitas.  Ada yang sejak wisuda doktor tidak terdengar lagi karyanya.  Ada juga yang tampaknyanya 'terlalu fokus di menara gading' ilmu, di ruang kuliah atau di ruang ibadah, tetapi kurang peduli atas realitas bangsanya. Jumlah mereka tidak sedikit. Sebagian justru bangga menjadi bagian kekuatan global, yang sebenarnya ingin mengisap kekayaan negeri ini. Memang konon strategi mereka ialah "win-win" (menang-menang). Namun yang terjadi, yang benar-benar menang ialah sang kekuatan global dan mereka sendiri, sedangkan bangsanya hakikatnya kalah.


Apa saja sebenarnya perilaku kecendekiaan itu?  Rumusnya ada di singkatan (3+1) C.  3 C yang pertama ialah Curious, Creative dan Critical Attitude.

Seorang cendekiawan tentu harus orang yang terus-menerus ingin tahu (curious). Dia menguji setiap pernyataan dengan pertanyaan, "Apa yang membuktikan informasi itu benar?", "ada apa di balik itu?", dan "bagaimana itu bisa terjadi?". Pernyataan itu diuji atas dasar rasional dan empiris: Apakah datanya valid?  Apakah bias di dalam survei bisa diatasi? Apakah sampelnya mewakili populasi? Apakah metode analisisnya tepat? dan seterusnya.  Curiousity ini yang seharusnya menjadi benteng dari segala tipu yang irasional, apalagi yang berkedok agama.

Setelah curiosity-nya terus menambah bekal ilmunya, seorang cendekiawan diharapkan creative, mampu memberikan berbagai alternatif solusi atas persoalan yang dihadapi. Karena itu, dia wajib berpikir "out of the box", "beyond "tradition", juga "post convention". Dari sinilah akan muncul banyak inovasi dari cendekiawan.  Jika dalam ilmu agama itu namanya "ijtihad".  Tentu saja, agar diakui, ijtihad ini harus selaras dengan perbendaharaan ilmu sang mujtahid, agar tidak dianggap nyeleneh.  Yang jelas karya cendekiawan ini akan muncul terus, tidak berhenti ketika diwisuda sebagai doktor ataupun dikukuhkan sebagai profesor.

Dan setelah memiliki semua ini, dia wajib menyampaikan yang diketahuinya dengan bijak ke masyarakat. Dia harus memiliki sikap kritis ("critical attitude") atas kekeliruan yang ada, termasuk kekeliruan yang mungkin ada dalam dirinya sendiri.  Jika dia mengkritik masyarakat ataupun negara, dia bisa mengingatkan bagaimana seharusnya. Dia menjadi sang pencerah di masyarakat.  Karena itu, dia wajib peduli pada persoalan bangsa.

Namun, 3C yang pertama ini tidak ada artinya tanpa 1 C yang kedua, yaitu Credible. Dia harus menjadi seseorang yang terpercaya. Karena itu, seorang cendekia wajib menghindari 3D, yakni 3 "Dosa tak termaafkan". Dosa ke-1 ialah plagiasi, yakni mengaku karya orang lain sebagai karyanya sendiri. Betapa mudah sekarang orang mencomot karya-karya orang lain dari internet dan digunakan dalam karya tulisnya. Bila kita mengutip hanya dari dua hingga tiga tulisan, kita melakukan plagiat. Baru bila kita mengutip dari 20-30 tulisan, lalu kita analisis secara sistematis, kita dikatakan melakukan riset.

Dosa ke-2 ialah memfabrikasi data, alias membuat data fiktif, data yang tidak pernah didapatkan dari survei, riset lab, ataupun dokumen sekunder. Banyak mahasiswa, bahkan di tingkat S3, yang malas mengukur dan mencatat data yang didapat dengan rapi, lalu mulai mengatur-atur data. Seorang dosen berpengalaman yang teliti akan relatif mudah mengenali fabricated data tersebut, contohnya karena dia tahu, alat-alat labnya yang sudah lama tidak dikalibrasi mustahil mengeluarkan data seakurat itu.

Dosa ke-3 ialah memanipulasi data, alias mencocok-cocokkan data dengan kesimpulan yang diinginkan. Karena ingin mengatakan bahwa "Si A ialah orang hebat", dibuatlah survei yang menggiring agar apa pun hasilnya, pasti mendukung hipotesis "Si A ialah orang hebat".  Ini biasanya dilakukan cendekiawan yang sudah terkontaminasi dengan syahwat politik atau uang.

Hanya cendekiawan yang terhindar dari 3D ini, yang insya Allah akan menjadi cendekiawan yang kontributif.


Lalu, bagaimana menumbuhkan kecendekiaan ini di tengah masyarakat. Karena itu, perlu 3T.

Pertama, teladan. Orang tua, guru, dan ulama perlu menunjukkan keteladanan, agar anak, murid, dan masyarakat awam mengikuti gaya hidup cendekia, yaitu terus ingin tahu, terus kreatif, dan terus kritis.  Para tokoh masyarakat, terutama para pejabat publik harus memberi contoh, yakni mereka tidak berhenti belajar.  Belajar tidak terbatas di ruang sekolah.  Bahkan, tidak perlu malu belajar pada yang lebih muda, yang lebih rendah status sosialnya dan lebih rendah pendidikannya.  Karena bisa jadi setiap orang punya keistimewaan.

Kedua, tebarkan kecendekiaan di tengah umat, melalui budaya pop (siaran televisi, event sosial). Jangan jejali televisi dengan 3G /(Ghost, Girls, Guns), yang pasti tidak cendekia.  Ini ialah sebuah gerakan sosial.  Dunia entertainment jadi semisal itu karena produk mereka dibeli.  Namun, jika masyarakat semakin cerdas, mereka akan meninggalkan produk yang tidak cendekia, dan stasiun TV akan memaksa semua production house memasok program yang menumbuhkan kecendekiaan.

Ketiga, terapkan aturan yang menghargai kecendekiaan. Pemerintah mesti meningkatkan dukungan pada event semacam Lomba Karya Ilmiah Remaja, yang saat ini diadakan oleh LIPI atau Kemdikbud, juga membuat aturan yang lebih kondusif bagi peneliti, termasuk penganggaran yang memudahkan aplikasi inovasi anak bangsa.  Jangan sampai peneliti sibuk dengan administrasi, sehingga akhirnya keberhasilan riset tidak lagi diukur dari output-nya semisal paten atau publikasi ilmiah, tetapi dari selesainya pertanggungjawaban keuangan.  Jangan sampai!

Saat ini, jangankan mendapatkan insentif, para peneliti atau perusahaan start-up yang terkait inovasi, justru sering malah dihadapkan dengan hukum.  Ada yang kena UU terkait HAKI, UU Perlindungan Konsumen, UU Pangan, atau UU Kesehatan.  Padahal, saat ini tak terhitung produk impor yang sebenarnya juga belum memenuhi aturan yang sama, tetapi dibiarkan karena menggunakan sebutan yang berbeda. 'Kriminalisasi inovasi' ini tidak boleh dilanjutkan. Kasus Warsito (terapi antikanker) atau kasus mobil listrik tidak boleh terjadi lagi selamanya.


Fahmi Amhar
Profesor Riset Badan Informasi Geospasial dan  Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Dikutip dengan sedikit editing dari: http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/10/18/of8e461-lengkanya-cendekiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar